1 Dinasti Di Bumi Pertiwi

     
Sebuah kelender melekat di dinding kamar. Beberapa kursi dan sebuah meja tergeletak di sudut ruangan. Seorang pemuda sedang berdiri di hadapan jendela. Menatap langit yang begitu indah dan mulai terbawa arus khayalan. Pemuda ini lulusan dari Universitas islam negeri alauddin makassar dengan jurusan ilmu politik. Lelaki berumur 25 tahun ini mempunyai semangat patriotisme. Dia ingin membangun Sulawesi selatan menjadi lebih baik. Matanya mulai berkaca-kaca melihat indonesia yang sedang di landah korupsi dalam perjalanan khayalanya. Ingin rasanya menginjak-injak para koruptor sampai mati. Mereka tidak melihat para pengamen yang ada di Mol panakukang dan nasional.
Seorang pembantu sedang berjalan menuju ruangan si pemuda itu dengan membawa makanan ringan.
Tok-tok, tuan muda apakah saya bisa masuk?.” Kata pembantu itu di balik pintu.
“Masuk aja, nda di kunci ji.” Pemuda itu  segera mengusapkan matanya dan berlalu menuju pintu.
“Ini ada kue manis dari pinrang.”  Pembantu itu berkata sambil membuka pintu.
“Siapa yang membawanya?”
“Bapak” bertepatan dengan meletakkan kue di sebuah meja.
“Buat apa Ayahku dari pinrang?”
“Yang saya dengar dari Ibu. Bapak pergi sosialisasi di pinrang.”
“Sekarang Ayahku ada di mana?” melangkahkan kakinya menuju jendela.
“Bapak ada di kamar sedang tidur. Saya keluar dulu mau memasak makan siang.” Perlahan-lahan mundur menuju pintu.
“Masak yang enak ya.” sambil tersenyum lebar kepada pembantu itu.
Pemuda itu tersenyum melihat pembantunya bekerja keras demi keluarganya. Biasa pembantunya sendiri di rumah dan dia sudah di anggap keluarganya sendiri. Pembantunya dulu berstatus pengamen di jalanan. Pemuda mulai itu terharu mengingat suasana saat pembantu itu di terima kerja di sini.  
***
Di dalam kamar yang begitu luas seperti ruangan tamu. Setangkai bunga dengan pas bunganya seakan-akan hidup di atas meja. Sebuah Ac terletak di atas jendela dengan suhu 15 derajat celcius. Seorang lelaki paru bayah dan beruban sedang membaca buku politik di atas kasur. Dia adalah seorang pemimpin di kota makassar. Dia yang mengatur semua pegawai negeri sipil yang ada di kota ini. Dua periode ada di dalam dirinya dan tidak bisa lagi menjabat lebih dari dua kali. Dia berharap kepada anaknya yang sudah bergelar S.sos menjadi kaya dirinya kelak. Tahun depan sudah pemilihan kepala daerah. Dia ingin setapet kepemimpinannya jatuh di tangan anaknya. Dia sudah berusaha dengan mengundang camat-camat  di rumahnya minggu lalu. Dan mempengaruhi semua para pemimpin kecil itu di setiap kecamatan. Matanya bergerak gerik melihat tulisan dan membacanya dalam hati. Seorang wanita cantik dan sedikit beruban sedang menuju ke kamar untuk memberikan kue kepada suaminya.
“Serius amat sih membaca bukunya.” Sedang mendekati suaminya yang lagi serius membaca.
“Oh kamu sayang, bawa apa ituu?” sambil tersenyum kepada istrinya.
“Bawa kue untuk cintaku yang tampan.” Mekarlah bunga pipinya terhadap suaminya.
“Demi kamu, kue ini pasti habis.”
“Masa.” Tersenyum.
“Ya iyalah, kamu kan cinta terakhirku sampai mati.”
“so sweet.”  Dengan senyumannya  beserta pipihnya berwarna ping tanda malu sama suaminya.
“Yang, saya mau bercerita.”  Perkataannya menghentikan senyuman istrinya.
“Cerita apa? Serius.
“Tahun depan kan saya sudah berhenti menjabat sebagai walikota Makassar.”
“Terus.”
“Saya ingin anak kita yang pertama jadi penerus saya tahun depan.”
“Tapi apakah Rio punya suara di Makassar?”
“Minggu lalu saya sudah bicarakan sama camat-camat saya.  Dan saya beritau mereka. Jika mereka masih mau jadi camat. Mereka harus dukung anak saya tahun depan. Dan mereka setuju semua.”
“Tapi apakah Rio mau?”
“Nanti saya akan bicarakan sama Rio.”
“Rio sekarang ada di kamarnya sedang istirihat.”
“Saya akan segera kesana.” Melangkahkan kaki keluar  dan menuju ke kamar buah hatinya.”
Seorang leleki beruban itu sedang menuju ke kamar buah hatinya dengan harapan anaknya mau jadi pemimpin tahun depan. 
***
Rio sedang berdiri di dekat jendela sambil memakan kue manis itu. Dia tersenyum kecil melihat burung  yang sedang bertengker di pohon jambu air dekat kamarnya. Rio menutup matanya perlahan-lahan dan mendengarkan suara burung pipit yang sedang bernyanyi. Dia menghayati nyanyian burung itu sampai kelubuk hatinya. Sekan-akan dirinya itu seperti burung sedang bebas terbang di langit. Rio mulai mengangkat kedua tangannya seperti burung sedang mengudara di angkasa biru perlahan demi perlahan. Ketika Rio sedang berkhayalan seperti burung, tiba-tiba muncul seorang lelaki berstatus Ayahnya.
“Rio sedang apa kamu?” kata Ayahnya.
“Aduh.” Terkaget oleh suara Ayahnya.
“Apa yang kamu lakukan nak?”
“Saya lagi meniru burung pipit terbang Ayah.”
“Oooh.”
“Ada apa Ayah datang ke kamar saya dengan wajah serius begitu?”
“Saya mau cerita tentang masa depan mu nanti.”
“Kok ayah yang menentukan masa depanku.”
“Karena Ayah mau yang terbaik untumu.”
“Hehehehe.”
“Kok malah ketawa.”
“Tidak.”
“Begini, apakah kamu ingin jadi pemimpin?”
“Ya iyalah, saya mau pemimpin rumah tangga dan pemimpin anak-anakku kelak.”
“Bukan itu maksudku
“Jadi maksud Ayah apa? Dengan wajah galau terhadap  Ayahnya.
“Saya ingin kamu jadi penerus Ayah tahun depan. Gimana?”
“Saya pikir-pikir dulu.” Langkah kakinya menuju jendela.”
“Kenapa begitu?”
“Jangan dulu,  apakah saya punya suara di makassar?. Dan saya kan baru tamat kuliah.” Sambil membalikkan badannya dan bergerak kehadapan Ayahnya.
“Kamu sudah banyak suara.”
“Gimana caranya?”
“Saya sudah mengundang camat-camat saya minggu lalu dan mereka setuju.”
“Maksud Ayah.”
“Mereka sudah saya suruh untuk mencari suara lewat kecamatan dan mempengaruhi rakyat yang ada di kelurahan dan juga apabila kamu telah menjadi pemimpin. Maka  camat-camatku akan jadi camat-camatmu tahun depan.”
“Apaa? Tapi itu kan curang .”
“Ini politik anak. Dunia ini hanya untuk mencari kekuasaan.”
“Tapi apakah saya cocok menjadi seorang walikota di kota daeng ini?” serius
“Kamu itu cocok menjadi pemimpin. Karena sebagian sifatku ada pada dirimu.”
“Hehehe.”
“Ketawa lagi, gimana?”
“Saya ingin merenungkan dulu. Besok saya beritau Ayah.”
“Iya saya tunggu nak. Saya berharap kamu mau. Karena semua ini untuk kebaikanmu dengan calon istrimu kedepannya. Btw bicara tentang calon istri. Apakah kamu sudah punya calon?”
“Sudah.”
“Siapa bede?
“Rahasia.” Dengan mengankat tangannya dan menggerakan jari telunjuknya seperti pembersih kaca mobil depan.”
“Hahahaha saya pergi dulu. Ngantuk mau Tidur siang hehehe.” Ayahnya segera berlalu menuju ke kamarnya.
Pemuda itu menghirup udara dan melepaskan lewat mulut. Dia beranjak perlahan-lahan bergerak ke depan jendela. Melihat langit bagaikan merindukan laut biru di angkasa. Dia mulai merenungkan sebuah perkataan Ayahnya. Di dalam pikirannya Dia memikirkan. Jika dia menjadi Walikota Makassar. Sebagian masyarakat atau peneliti akan mengganggap dia politik dinasti, tapi jika Dia tidak jadi seorang khalifa di kota daeng. Para pengamen akan terus bertambah di samping-samping Mol Panakukang. Sang pemuda galau dengan kehidupan perkataan Ayahnya. Di saat pemuda sedang merenungkan, tiba-tiba muncul seorang kakek berpakaian robek dan celana yang  kotor beserta salah satu kakinya hilang lewat di depan rumahnya. Matanya mulai berkaca-kaca melihat sang kakek merangka memakai gerobak bagaikan suster ngesot. Tak tahan dengan usaha si kakek itu. Di sudut matanya mulai keluar butiran-butiran surga secara perlahan-lahan. Rasa bersalah muncul di lubuk hatinya. Karena Ayahnya selama ini tidak memperhatikan rakyat kecil. Pemuda itu mengusapkan air surga di wajahnya tanda ingin mengubah kota daeng menjadi kota yang mengerti rakyat. Semangat patriotisme dan nasionalisme mulai berada di dalam hati kecilnya. Tidak  terpikir lagi dengan perkatan orang lain dan dia ingin menjadi seorang pemimpin.

1 komentar:

  1. mantap min informasi nya min
    salam kenal ya min
    semoga terus maju dan berkarya min
    terima kasih

    BalasHapus

 

Amburadul Republik Copyright © 2015 - |- Template Modified by A.M - |- Powered by Komunitas Blogger Madura