Seorang
teman marah ketika saya membangunkannya dari tidur siangnya. “Gara-gara
dibangunin, saya gagal dapat uang dua ratus ribu,” katanya. “Bagaimana bisa?”
tanya saya. “Ya, hampir saja saya menerima dua lembar ratusan ribu jika saja
kamu tak membangunkan saya,” tambahnya. “Sudahlah, bangun dari mimpimu itu.
Kamu bisa mendapatkan jauh lebih banyak dari dua lembar jika tak sedang
bermimpi,” segera saya menariknya keluar dari kamar untuk mengajaknya berjalan
mencari pekerjaan.
Fase
bermimpi itu pernah bersama kami lewati, ketika rasa malas kerap menggelayuti
otak kami yang berpikir meraih sukses itu amat mudah. Mungkin kami terlalu
banyak menonton televisi, melihat orang-orang muda seusia kami memakai stelan
jas mengendari mobil mewah dan menghuni rumah seharga di atas dua milyar.
Dengan kemapanan seperti itu, perempuan mana yang tak suka berkenalan atau
bergaul dengannya. Tayangan televisi lainnya mengajarkan kami betapa mudahnya
mendapatkan uang hanya dengan bermodalkan pengetahuan pas-pasan atau mencoba
keberuntungan dan mengundi nasib mengikuti berbagai kuis dengan hadiah
menjanjikan.
Beberapa
film lainnya sempat membuat saya dan teman-teman berkhayal ketika tengah berada
di pinggir jalan menunggu bis, sebuah mobil mewah yang melintas di depan kami
tiba-tiba berhenti karena pengendaranya tiba-tiba terserang penyakit jantung.
Kami pun berhamburan menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Singkat cerita,
jadilah kami dewa penolong yang mendapat imbalan, “Apa pun yang kalian minta
akan kami berikan, karena kalian telah menyelamatkan nyawa saya,” Ahay,
indahnya hidup jika setiap episode selalu dihiasi keberuntungan seperti itu.
Tetapi nyatanya tidak, hidup ini tetap keras dan perlu melalui banyak onak yang
terkadang kaki ini tak sanggup menahannya. Nyatanya, meski sudah berjam-jam
kami masih tetap di pinggir jalan itu dan tak satu pun mobil mewah melintas
yang tersuruk lantaran pemiliknya terserang jantung sehingga kemudian kami
menjadi dewa penyelamatnya. Tidak, itu hanya ada dalam film, komik, bahkan
mimpi yang seringkali tak nyata.
Mimpi
seringkali membuat orang untuk terus bermimpi, seperti seorang pandir yang
selalu mendapat keberuntungan meski pun kebodohannya tak tertandingi, seperti
Cinderella yang mendapat keberuntungan dari sepatu kaca pemberian peri cantik,
seperti seorang pemulung yang tiba-tiba saja menemukan beberapa batang emas di
tempat sampah, sehingga seluruh warga kampung berbondong-bondong ikut memulung
di tempat yang sebelumnya teramat menjijikkan bagi mereka. Si pemulung akan
berpikir bahwa menjadi pemulung adalah jalan hidupnya, dan ia terus bermimpi
menemukan batang emas lainnya di tempat sampah yang berbeda. Dan seperti juga
kita, yang masih saja terus ingin melanjutkan tidur berharap mimpi siang tadi
berlanjut sehingga dua lembar ratusan ribu berpindah ke tangan kita. Tapi itu
dalam mimpi!
Nyatanya,
mungkinkah ada orang yang bisa melanjutkan mimpinya? Bahkan adakah yang mampu
mewujudkan mimpinya hanya dengan terus memejamkan matanya dan menyembunyikan
wajah di bawah bantal?..
Waktu terus
bergulir, detik terus berlari. Sebagian orang masih terlelap berharap mimpi
indah dalam tidurnya. Sebagian lainnya berpacu dengan cepatnya waktu untuk
meraih sukses. Yang tidur akan bangun dengan tangan hampa, menyesal betapa
banyak waktu terbuang untuk meraih mimpi yang tak pernah mampu diwujudkannya
hanya dengan terus menerus terlelap. Sementara yang lain, sudah tersenyum
karena lebih cepat meninggalkan tempat tidur mereka dan melangkah cepat meraih
mimpinya dengan kerja keras.
Memelihara
mimpi, bukanlah dengan melanjutkan mimpi dalam tidur. Melainkan dengan melipat
selimut dan bergegas ke luar kamar melangkahkan kakinya menapaki setiap anak
tangga kesuksesan. Bukankah matahari terlihat saat ia bersinar, bukankah kokok
ayam jantan menunjukkan keberadaannya. Tukang becak akan mendapatkan uang
setelah ratusan kali kakinya mengayuh, tukang koran bisa tersenyum setelah
semua korannya habis, para pedagang akan menghitung laba setelah uang modalnya
terpenuhi, dan para karyawan akan menerima gaji setelah sebulan penuh bekerja.
Layaknya
seorang pemain sepak bola di lapangan. Jika tak bertarung merebut bola, berapa
sering ia akan mendapatkan bola jika hanya berharap pemberian bola dari
temannya? Dan hitung berapa peluang yang ia peroleh untuk menciptakan gol dari
jerih payahnya yang sedikit itu? Akankah timnya menjadi pemenang? Jadi,
peliharalah mimpi dengan bergegas beranjak dari mimpi dan khayalan. Karena
rezeki lebih senang dihampiri, bukan menghampiri.
Saya dan
teman-teman yang pernah sama-sama bermimpi dulu, hingga kini masih terus menjaga mimpi kami. Tetapi kali ini tidak di tempat tidur. Percayalah.
mantap infonya
BalasHapus