1 Dalil dan Hadits Tahlil



 
Mengenai kedudukan hukum tahlilan, di kalangan para ulama ahli fiqh terpetakan menjadi dua kelompok pendapat yang satu sama lain saling bertentangan yaitu pendapat ulama yang menerima atau memperbolehkannya versus pendapat ulama yang menolak atau melarangnya.



Alasan ulama yang menerima dan memperbolehkan tahlilan.


Dalil-dalil yang dipakai kelompok ulama yang menerima dan memperbolehkan tahlilan, yaitu dalil aqli dan dalil naqli serta pendapat ulama.

1. Dalil Aqli, yaitu dalil yang diambil berdasarkan pertimbangan akal.

Menurut pertimbangan akal, kegiatan ritual tahlil yang diselenggarakan sesudah kematian itu ada beberapa hal yang dinilai positif dan bernilai ibadah, di antaranya adalah kegiatan dzikr berupa pembacaan al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih dan takbir dan doa-doa serta pengiriman pahala untuk si mayit. Di sana juga terdapat kegiatan bersedekah berupa mengeluarkan hidangan makanan kepada mereka yang hadir; dan juga kegiatan silaturrahim, yaitu dengan berkumpulnya banyak orang di rumah ahli mayit dengan maksud menghibur keluarga mayit yang sedang berduka.

2. Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.

a). Al-Qur’an Surat al-Ahzab, ayat 41:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْااذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًاكَثِيْرًا (الاحزاب ٤١)
              Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikr yang sebanyak-banyaknya (QS.al-Ahzab,41).

b). Hadits Shahih riwayat Muslim dari Aisyah ra :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّىْ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْتَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم) 
 Artinya:Dari Aisyah ra., bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dan bertanya: sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba, saya menduga jika ia sempat bicara sebelumnya tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan dapat pahala jika aku bersedekah untuknya? Nabi Saw menjawab, ya! (HR. Muslim).

Imam Nawawi berkata bahwa di dalam hadits ini dinyatakan boleh bersedekah menggantikan orang yang sudah mati, bukan saja boleh tapi dianjurkan, dan pahala sedekah itu sampai kepada orang yang mati dan berfaidah untuk orang yang bersedekah. Hal ini telah menjadi ijma’ orang Islam menfatwakannya (Syarah Shahih Muslim, XI, 84).
 
c). HR. Abu Dawud dari Ma’qal bin Yasar ra:

عَنْ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِقْرَأُوْا يَس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رواه أبو داود)

Artinya: “Dari Ma’qal bin Yasar, Nabi Saw bersabda: Bacakanlah surat Yasin untuk orang yang mati” (HR. Abu Dawud, Juz III, 91).
 
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati itu baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faidah (pahala) membacanya itu dihadiahkan kepada orang yang telah mati. Menurut Sirojuddin Abbas, Arti kata “mautaakum” pada hadits tersebut adalah orang yang telah mati, dengan bukti bahwa Imam Abu Dawud memberi judul hadits ini dengan “babu qira-ati ‘inda al-mayyiti” (bab membaca ayat al-Qur’an di hadapan orang yang mati (40 Masalah Agama, I, 206).
 
Tetapi hadits ini dinilai oleh al-Albani dan Aiman Shalih Sya’ban sebagai hadits da’if, karena terdapat dua nama perawi (Abu Utsman dan ayahnya) yang tidak dikenal (majhulani).
 
Alasan ulama yang menolak dan melarang tahlilan

Dalil-dalil yang dipakai kelompok ulama yang menolak dan melarang tahlilan, yaitu dalil aqli dan dalil naqli serta pendapat ulama.

1. Dalil Aqli, yaitu dalil yang diambil berdasarkan pertimbangan akal.

Menurut pertimbangan akal, penyelenggarakan kegiatan tahlilan dengan cara menghidangkan makanan buat para undangan yang hadir di rumah ahli mayit dan diisi dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dengan maksud mengirimkan pahala bagi si mayit, mengandung beberapa hal yang negative, di antaranya adalah memberatkan keluarga si mayit, karena harus menyediakan hidangan makanan buat mereka yang hadir di rumahnya. Hal ini akan semakin memberatkan jika keluarga si mayit itu tergolong orang yang tidak mampu; selain itu rasanya kurang etis, ketika orang sedang berduka cita, di rumahnya ada kegiatan makan-makan seperti acara pesta. Padahal seharusnya pada saat suasana sedang berduka, yang lainnya juga ikut berduka; dan rasanya terbalik, mestinya keluarga yang sedang berduka itu disantuni dan dibantu dengan menyediakan makanan oleh para tetangga atau handai taulan, tetapi malah yang dirundung duka harus sibuk melayani para tetangga yang datang ke rumahnya dengan menyediakan makanan ala pesta (syukuran).

2. Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber dari al-Qur’an, al-hadits dan al-Atsar.
a. Dari al-Qur’an:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة ١٨٥)

Artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua”. (QS. Al-Baqarah, 185).

أَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنَ لَيْسَ لِلْإِ نْسَانِ إِلاَّ ماَ سَعَى (النجم ٣٨-٣٩)

Artinya: “Bahwasanya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan seseorang tidak akan mendapatkan (pahala) kecuali sesuai apa yang telah ia usahakan”. (QS. Al-Najm, 38-39).
 
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat difahami bahwa sesungguhnya Allah tidak ingin memperberat hambanya dalam memikul beban hidupnya. Allah mengingatkan bahwa masing-masing orang akan bertanggung jawab sesuai dengan amal perbuatannya sendiri. Seorang ayah tidak akan dapat menolong anaknya, dan seorang anak pun tidak dapat menolong bapaknya, apalagi menolong orang lain. Atas dasar ini, ulama yang melarang tahlil berpendapat bahwa mengirim pahala pada orang yang sudah mati, yang biasa dilakukan pada acara tahlilan itu tak ada manfaatnya sama sekali.

b. Dalil dari hadits dan atsar:

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِصْنَعُوْا ِلأَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجة والشافعى والطبراني)

Artinya: Abdullah bin Ja’far berkata: “Ketika tersiar khabar terbunuhnya Ja’far, Nabi Saw bersabda: “Hendaklah kalian membikin makanan untuk keluarga Ja’far, lantaran mereka itu telah ditimpa perkara yang menyusahkan mereka” (Hadits shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Syafi’i dan al-Thabrani).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد وابن ماجة بسند صحيح)
Artinya: “Dari sahabat Jarir bin ’Abdullah, beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah (meratapi mayat yang hukumnya haram)”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih).
 
Dari hadits dan atsar tersebut menjelaskan bahwa apabila ada kematian, maka Nabi Saw memerintahkan agar para tetangganya memberikan bantuan berupa makanan atau santunan kepada keluarga yang berduka. Bukan sebaliknya, keluarga ahli mayit yang malah disibukkan menyediakan makanan buat orang yang hadir ke rumah ahli mayit. Atas dasar ini para ulama yang menolak tahlil berpendapat bahwa sesungguhnya kumpul-kumpul di rumah ahli mayit untuk menyelenggarakan kegiatan tahlil itu tidak diperbolehkan.



Catatan:

Sesuai hasil Muktamar Nahdhatul Ulama ke-1 di Surabaya pada tanggal 13 Rabiuts Tsani tahun 1345 H/ 21 Oktober 1926 M tentang keluarga mayit yang menyediakan makanan kepada penta’ziah disebutkan bahwa menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu,..... Di antara dasar yang dipegangi oleh muktamirin adalah kitab I’anat al-Thalibin (karya Sayyid al-Bakri) yang menjelaskan: “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali yang berkata: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”. Baca Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama (1926-1999), terj. Djamaluddin Miri, Cet.II (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2005), 16.

Sumber : http://zuhdidh.blogspot.com/2011/09/tahlilan.html

1 komentar:

 

Amburadul Republik Copyright © 2015 - |- Template Modified by A.M - |- Powered by Komunitas Blogger Madura